Pesan Determinasi Geopolitik Turki

Minggu, 12 Juli 2020

Turki pemimpin kawasan. Itu pesan Erdogan di balik keputusan mengembalikan Hagia Sophia menjadi mesjid setelah dijadikan museum oleh Kemal Attaturk sejak 1935. Ini pesan determinasi di tengah pertarungan politicall will secara geopolitik.

Pesan itu sepertinya mengawali pendekatan geopolitik baru Turki Erdogan setelah hampir 10 tahun terakhir terlibat dalam berbagai titik konflik seperti di Suriah, Yunani, Libya, Yaman dan lainnya. 

Gagalnya kudeta militer 2016 lalu yang disponsori negara-negara anti-Arab Spring seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab makin mengokohkan posisi internal Erdogan. 

Itu juga membuat Erdogan lebih berani melakukan intervensi militer di kawasan, seperti Libya dan suatu saat mungkin juga Yaman.

Jatuhnya harga minyak telah memukul telak ekonomi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Rusia yang merupakan pemain utama dalam konflik geopolitik di kawasan. Itu memberi lebih banyak keleluasaan bagi Turki.

Erdorgan menyiapkan Turki untuk mengakhiri efektivitas Perjanjian Lausanne pada 2023 mendatang. Perjanjian itu ditandatangani 24 Juli 1923 di Lausanne, Swiss, bersama Inggris, Prancis, Italia, Yunani, Rumania, dan Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia Pertama. Bagi Turki, itu satu abad kehinaan.

Pesan determinasi geopolitik Turki ini sepertinya dirancang dengan apik menuju pilpres terakhir Erdogan pada 2024 mendatang. Tapi tantangan Turki sebenarnya bukan di situ. Tantangannya justru terletak pada pemulihan ekonomi di tengah krisis berlarut. Bisakah Erdogan sukses?