Mengapa Indonesia Butuh Arah Baru?

Rabu, 14 Maret 2018

IMG_9210

Jakarta – Belakangan ini masyarakat merasa adanya krisis narasi tentang ke mana arah yang dituju oleh bangsa ini. Sejumlah survei merilis data bahwa masyarakat merasa Indonesia tidak menuju arah yang benar sebagai bangsa. Di tengah hingar-bingar pembangunan infrastruktur, masyarakat merasakan kehidupan yang makin berat dan kecemasan terhadap masa depan yang makin meningkat. Mengapa masyarakat sampai merasakan disorientasi akan arah bangsa ini?

Krisis narasi ditandai oleh munculnya begitu banyak paradoks, dan melahirkan masalah yang kompleks tapi tidak ada jawaban atas semua masalah itu. Akumulasi dari masalah-masalah yang tidak terjawab akan melahirkan kebingungan dan disorientasi kolektif. Jika referensi ideologi, struktur nilai, dan sistem politik tidak mampu menjawab paradoks-paradoks itu maka relevansinya seketika hilang. Sebuah narasi baru diperlukan untuk mengurai benang kusut itu, dan menciptakan sebuah cerita kehidupan baru di mana semua elemen terintegrasi kembali dan sungai kehidupan kembali mengalir dalam sebuah arah sejarah baru.

Dalam situasi seperti itu pertanyaan akan ditujukan kepada para pemimpin untuk mencari solusi. Jika mereka tidak mempunyai cerita kehidupan baru, maka mereka juga seketika kehilangan relevansi. Itulah awal krisis kepemimpinan: masyarakat kehilangan kepercayaan pada kemampuan pemimpinnya untuk mengurai benang kusut itu. Secara natural mereka akan mencari wajah baru yang punya jawaban atas masalah itu.

Pintu Masuk Perubahan

Krisis selalu hadir dalam setiap peralihan gelombang sejarah. Pergerakan nasional pada 1908 memulai pergeseran (shifting) dari perlawanan terhadap kolonialisme yang bersifat dan berskala kedaerahan menjadi berdimensi nasional. Pergeseran ini mengawali hilangnya relevansi strutktur sosial lama berbasis etnis, digantikan struktur sosial baru bernama bangsa Indonesia. Di tingkatan politik juga terjadi pergeseran dari sistem politik, dari kerajaan-kerajaan kecil Nusantara menuju terbentuknya negara merdeka berbentuk republik. Puncaknya adalah kelahiran bangsa Indonesia pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan lahirnya negara Indonesia pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Perjalanan dari perlawanan melawan penjajahan hingga Indonesia merdeka ini saya sebut gelombang pertama dalam sejarah Indonesia. Dalam gelombang ratusan ini, kita berusaha merumuskan jatidiri kita sebagai bangsa, menjadi Indonesia.

Tragedi politik G30S adalah krisis yang mengakhihiri Orde Lama dan melahirkan Orde Baru. Krisis ekonomi 1998 mengakhiri Orde Baru dan melahirkan “orde” Reformasi. Di Orde Lama kita mengalami demokrasi tanpa kesejahteraan. Sebaliknya, pada masa Orde Baru, kesejahteraan dinikmati dengan ongkos hilangnya kebebasan. Pada 20 tahun masa Reformasi ini, kita mulai menemukan keseimbangan antara demokrasi dan kesejahteraan.

Rentang dari Indonesia merdeka hingga masa Reformasi saya sebut sebagai gelombang kedua. Dalam periode ini kita mencari sistem yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik kita. Kita mencoba mempertemukan dua kata, yaitu demokrasi dan kesejahteraan, dengan rangkaian eksperimen yang harus dibayar mahal. Hasil dari gelombang ini adalah terwujudnya negara-bangsa (nationstate) yang modern.

Inilah perjalanan dialektika sejarah bangsa kita. Lalu, apakah kita sekarang mengalami krisis?

Yang kita rasakan adalah kesenjangan antara potensi yang kita miliki dan hasil yang kita capai. Langit terlalu tinggi tapi kita terbang terlalu rendah. Kita seperti orang kaya yang tidak bisa mengelola kekayaannya dengan baik dan kini berada di ambang kebangkrutan. Fundamental ekonomi yang lemah karena digerogoti utang luar negeri yang mencapai Rp 4.750 triliun, kesenjangan ekonomi yang kian menjulang, dan melemahnya kurs rupiah adalah masalah nyata yang tampak coba ditutupi dengan hiburan-hiburan jenaka. Memang, pendewasaan sosial-politik yang telah dilewati rakyat membuat krisis tidak selamanya ditandai kerusuhan sosial.

Gejala krisis itu muncul dalam perasaan disorientasi karena tidak adanya arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang jelas, serta lemahnya kapasitas kepemimpinan nasional dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar. Misalnya, bagaimana roadmap Indonesia dalam menghadapi eskalasi di Laut Cina Selatan tidak pernah tersampaikan dengan jelas kepada publik.

Ketiadaan arah itulah yang saya maksud dengan krisis narasi dan lemahnya kapasitas kepemimpinan itu yang saya maksud dengan krisis kepemimpinan.

Arah Baru: Revolusi Cerdas

Kita sedang berada dalam peralihan gelombang sejarah, dari gelombang kedua menuju gelombang ketiga. Setelah berkutat dengan urusan internal, sudah saatnya kita melihat ke luar dan mencoba memposisikan Indonesia dalam kancah ekonomi dan politik internasional.

Sebagai bangsa kita perlu terus menanamkan dan mengintensifkan kebutuhan untuk berprestasi (need to achieve). Namun, semangat berprestasi itu tidak boleh terbatas untuk kepentingan pribadi seperti yang digambarkan psikolog Amerika David McClelland. Kebutuhan akan pencapaian tersebut harus didasari semangat pertangungjawaban sejarah kita. Mau apa kita dengan hidup ini?

Inilah nilai baru yang berkembang dalam struktur nilai masyarakat sebagai hasil dari demokrasi, kesejahteraan, pendidikan, dan pembauran dengan budaya global. Nilai baru ini melengkapi nilai-nilai yang sudah ada sebelumnya, yaitu agama dan kebersamaan atau kolektivitas. Nilai kolektivitas juga tercermin dari nilai kekeluargaan yang tumbuh dalam kelompok, komunitas atau organisasi, serta dalam praktik gotong-royong. Jadi, kombinasi antara nilai-nilai religiositas, kolektivitas dan kebutuhan berprestasi ini akan menjadi pendorong kemajuan masyarakat dan bangsa dalam era peralihan ini.

Perjalanan sejarah di hadapan kita adalah gelombang besar yang mempertemukan antara agama, pengetahuan, demokrasi, dan kesejahteraan. Agama membentuk karakter bangsa; pengetahuan membentuk kapasitas manusia dan negara; demokrasi menciptakan keseimbangan sosial antara kebebasan dan keteraturan; kesejahteraan adalah outputdalam bentuk standar kehidupan yang lebih berkualitas.

Semua tenaga dan pikiran kita harus dicurahkan ke arah baru itu. Jika pada gelombang pertama tema utamanya adalah eksistensi dan identitas; pada gelombang kedua kita berkutat membangun sistem dan kapasitas; maka pada gelombang ketiga ini, kita bekerja dengan tema utama integrasi dan kolaborasi. Potensi yang begitu banyak tercerai-berai harus diintegrasikan dan dikolaborasikan untuk kemajuan bersama.

Arah baru Indonesia adalah sebuah revolusi cerdas (smart revolution), di mana perubahan besar dijalankan tanpa goncangan sosial besar karena kita menekan tombol-tombol perubahan yang tepat. Revolusi cerdas adalah perubahan besar mengikuti sistem demokrasi yang berlaku. Perubahan itu berjalan tanpa mencederai prosedur dan nilai-nilai demokrasi yang selama ini kita junjung. Yang ditawarkan kepada rakyat adalah arah baru yang akan kita tuju, agar kita menjadi bangsa yang sejahtera, kuat, berdaya saing, serta mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi.

Solusi bagi krisis narasi dan krisis kepemimpinan adalah lahirnya kepemimpinan nasional yang memiliki visi besar dan mampu menggerakkan seluruh rakyat untuk mencapai visi itu bersama. Pemimpin yang muncul dalam arah baru ini bukan menawarkan hiburan dan tawa sejenak, tetapi bangunan sistem baru untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Arah baru Indonesia akan membawa kita pada posisi sejajar dengan negara-negara kuat di dunia karena sejatinya kita punya kekuatan dan kemampuan untuk itu. Kita memiliki potensi demografi, kekayaan alam, posisi geopolitik yang strategis, serta pasar domestik yang besar. Sebagai ilustrasi, Indonesia adalah satu dari tiga negara muslim yang masuk G-20 bersama Turki dan Arab Saudi. Namun, jika melihat Pendapatan Domestik Bruto, Indonesia memiliki ukuran perekonomian yang lebih besar. Dari segi modal sosial, Indonesia memiliki akumulasi pengalaman demokratisasi yang lebih matang dari kedua negara tersebut. Artinya, potensi itu ada, tinggal bagaimana kepemimpinan nasional yang cakap dapat mengubahnya menjadi hasil yang membawa kesejahteraan.

Kita tidak perlu silau dan larut dalam puji-pujian negara lain atau lembaga keuangan internasional, karena yang harus diwujudkan adalah rasa terima kasih yang tulus dari rakyat seluruhnya. Dengan arah baru Indonesia, kita akan menulis sejarah kita sendiri dengan tinta keringat kerja keras kita sendiri.

Tulisan ini telah di muat di kolom detik.com